Memahami Lebih Lanjut tentang e-Learning
Sudah banyak referensi baik di internet maupun dalam bentuk cetak yang membahas tentang
e-learning dan berbagai aspek yang menyertainya. Tulisan berikut ini dimaksudkan untuk lebih
memperkaya dan memperdalam kajian pustaka dalam bahasa Indonesia tentang e-learning.
Pada kesempatan ini penulis mencoba memberikan pengenalan tentang e-learning dan tipe
kategorisasi yang dapat digunakan sebagai acuan untuk mengelompokkan dan menganalisis
berbagai tipe e-learning beserta langkah-langkah pengembangannya.
I. Introduksi
Salah satu masalah utama pada sistem pendidikan di Indonesia adalah masalah
kualitas. Masalah ini berhubungan dengan penyediaan materi dan bahan belajar yang
dapat diakses secara luas tanpa dibatasi oleh kendala jarak dan waktu. Apabila
kendala ini dapat diatasi maka misi untuk menerapkan pendidikan sepanjang hayat
pada segenap lapisan masyarakat dapat diwujudkan. Dalam mewujudkan hal ini
dibutuhkan perubahan pada paradigma proses belajar mengajar yang telah diterapkan
selama ini (Ali, 2004).
Pada paradigma tradisional proses belajar mengajar pada umumnya berlangsung
di ruang kelas dan ditandai dengan kehadiran pendidik di muka kelas. Pendidik
memiliki tanggungjawab penuh terhadap jalannya proses belajar mengajar dan bisa
dianggap sebagai sumberdaya paling penting dari sebuah proses belajar mengajar.
Seluruh dokumen di IlmuKomputer.Com dapat digunakan, dimodifikasi dan
disebarkan secara bebas untuk tujuan bukan komersial (nonprofit), dengan
syarat tidak menghapus atau merubah atribut penulis dan pernyataan
copyright yang disertakan dalam setiap dokumen. Tidak diperbolehkan
melakukan penulisan ulang, kecuali mendapatkan ijin terlebih dahulu dari
Sebaliknya pada paradigma baru, peserta didik harus difasilitasi sesuai kebutuhannya
masing-masing. Setiap peserta didik adalah spesifik dan memiliki kebutuhan belajar
yang berbeda-besa. Proses belajar mengajar harus berfokus pada aktifitas ”belajar” dan
bukan pada aktifitas ”mengajar” seperti pada paradigma lama. Dengan paradigma
seperti ini maka keberadaan pendidik tidak lagi menjadi satu-satunya faktor penting
dalam proses pembelajaran. Keberadaan pendidik bisa digantikan oleh bahan belajar
berupa modul, diktat, perangkat lunak edukasi yang bisa digunakan untuk belajar
secara mandiri oleh peserta didik.
Paradigma baru yang menjadikan peserta didik sebagai active learner tersebut
saat ini mendapatkan sarana yang sesuai untuk diimplementasikan pada sistem
pendidikan di Indonesia dengan keberadaan Teknologi Informasi dan Komunikasi
(TIK). TIK mampu berperan dalam menghasilkan berbagai produk bahan belajar yang
jauh lebih menarik untuk dipelajari, memiliki unsur interaktif yang tinggi, dan mudah
dipahami oleh peserta didik. Segala kelebihan tersebut dapat mempercepat proses
belajar mereka. Lebih dari itu TIK juga mampu mengantarkan berbagai bahan belajar
tersebut ke hadapan peserta didik tanpa batasan jarak dan waktu dengan adanya
internet sebagai medianya.
Dengan adanya TIK maka telah muncul berbagai model pembelajaran baru dalam
dua dekade terakhir. Contoh model tersebut antara lain:
1. Computer Based Learning/Training (CBL/ CBT)
Model CBL/CBT berkembang sekitar pertengahan tahun 1990-an. Saat itu
berbagai pelatihan atau kelas menyediakan berbagai bahan belajar berupa modul
elektronik baik berupa perangkat lunak edukasi maupun softcopy dari berbagai
modul cetak yang sudah ada sebelumnya. Bentuk ini di kemudian hari dikenal
sebagai e-book dan berkembang semakin pesat berkat adanya format file pdf dari
Adobe.
Pada era tersebut CBL/CBT sendiri berkembang pada komputer stand-alone dan
belum terhubung dengan internet. Biasanya pembelajaran dengan model
CBL/CBT adalah untuk penyiapan tenaga ahli pada suatu bidang yang
memerlukan pelatihan terlebih dahulu sebelum menempati posisinya. Perangkat
lunak simulasi membantu peserta didik melakukan simulasi atas pekerjaan yang
hendak dilakukan. Dengan simulasi maka proses belajar menjadi lebih mudah dan
biaya pun bisa ditekan lebih murah dibandingkan apabila mereka harus
mempraktekkan sendiri pada peralatan yang sebenarnya. Modul elektronik
mempermudah peserta untuk mempelajari secara mandiri materi yang harus
dipelajari dan tidak memerlukan biaya cetak yang tinggi.
2. Web-based Learning
Dengan semakin luasnya perkembangan internet maka perkembangan
selanjutnya adalah terjadinya perluasan akses terhadap bahan-bahan belajar
CBL/CBT di atas. Berbagai perangkat lunak edukasi ataupun softcopy dari modul,
diktat, dan berbagai buku elektronik (e-book) lainnya yang semula didistribusikan
dalam bentuk disket atau CD mulai membanjiri internet. Dengan melakukan
upload berbagai referensi dan bahan belajar di internet berarti membuka akses
dari seluruh penjuru dunia terhadap berbagai bahan belajar tersebut. Para
pengguna internet pun bisa mempelajari apa saja dari berbagai situs web yang
tersedia.
Demikian pula para penyelenggara pendidikan mulai memanfaatkan internet
untuk memperluas layanan mereka pada siapapun yang ingin menjadi peserta
didiknya. Berbagai kelas dan pelatihan bisa diikuti hanya dengan melakukan
berbagai download terhadap bahan belajar elektronik, berdiskusi dengan dosen
melalui email atau forum-forum diskusi online, dan mengikuti ujian secara online
di internet. Setelah lulus sang peserta didik tinggal menunggu ijazah atau
sertifikat yang terkirim ke alamatnya. Model inilah yang dikenal sebagai
Web-based learning, sebuah model pembelajaran jarak jauh (distance learning)
yang menggunakan internet sebagai sarananya.
3. Mobile Learning
TIK tidak hanya terbatas pada penggunaan komputer saja. Berbagai model
pembelajaran yang menggunakan peralatan TIK lainnya seperti misalnya telepon
genggam pun saat ini telah mulai berkembang. Dengan berbagai fitur dan
teknologi yang dimiliki telepon genggam saat ini telah melahirkan sebuah model
pembelajaran baru yang dikenal sebagai mobile learning (m-learning). Aktifitas
utama pada M-learning adalah mendistribusikan bahan belajar kepada peserta
didik agar dapat diakses menggunakan perangkat komunikasi portabel semacam
telepon genggam atau PDA.
Berbagai bentuk model pembelajaran dengan berbasiskan TIK seperti tersebut di
atas itulah yang dikatergorikan sebagai bagian dari pembelajaran secara elektronik
atau lebih dikenal sebagai e-learning. Tidak mudah untuk mendefinisikan e-learning
karena begitu banyaknya pendapat yang beredar, beberapa di antaranya antara lain
adalah:
Allan J. Henderson (2003)
e-learning is learning at a distance that uses computer technology (usually the
Internet).
e-learning enables employees to learn at their work computers without traveling to
a classroom.
e-learning can be a scheduled session with an instructor and other students, or it
can be an on-demand course that the employee can take for self-directed learning at
a time when it’s convenient.
Badrul Khan (2005) termuat pada Adri (2008)
e-learning can be viewed as an innovative approach for delivering welldesign,
learner-centered, interactive, and facilitated learning environment to anyone,
anyplace, anytime by utilizing the attributes and resources of various digital
technologies along with other form of learning materials suited for open, flexible
and ditributed learning environtment.
Darin E. Hartley (2001) termuat pada Wahono (2003)
e-learning merupakan suatu jenis belajar mengajar yang memungkinkan
tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan menggunakan media internet,
intranet atau media jaringan komputer lain.
Sering terdapat perdebatan apakah penggunaan istilah e-learning untuk
pembelajaran yang menggunakan TIK justru mengingkari penggunaan huruf e di
depan kata learning tersebut yang berasal dari kata “electronic”. Hal ini mengingat
banyak perangkat elektronik lain yang secara kelompok bukan merupakan sarana TIK
semacam televisi, radio, dan VCD/DVD juga banyak digunakan sebagai sarana
pembelajaran. Dalam opini penulis tanpa menafikan media elektronik lainnya
semacam televisi dan radio, terminologi e-learning bisa dikatakan telah identik dengan
TIK. Sementara pembelajaran dengan menggunakan media semacam video dan televisi
lebih sesuai mengacu pada istilah multimedia learning. Perdebatan lainnya adalah
apakah yang disebut sebagai e-learning harus selalu mengacu pada pembelajaran
dengan internet (Nugraha, 2007).
II. Kategori e-Learning
Seperti halnya definisi, pengkategorian e-learning pun tidak bisa dilakukan
dengan mudah mengingat banyaknya pendapat akan aspek yang mendasari
kategorisasi e-learning. Pada tulisan ini ada dua kategorisasi yang digunakan, yaitu
tipe e-learning berdasarkan interaksi dengan sistem dan kategorisasi dengan
framework 4-tier Model dari IBM.
A. Interaksi antara Sistem dan Manusia
Ditinjau dari segi interaksi antara sistem dengan manusia maka ada tiga kategori
dasar dari e-learning, yaitu:
Synchronous Learning
Self-directed Learning
Asynchronous (collaborative) Learning
Masing-masing kategori tersebut pada dasarnya mengacu pada bagaimana
perasaan seorang peserta didik pada saat melakukan proses pembelajaran dengan
sistem e-learning. Perasaan tersebut dapat berupa perasaan terisolasi, atau menjadi
bagian dari sebuah kelompok. Apabila menjadi bagian dari sebuah kelompok
bagaimanakah komunikasi dan interaksi yang terjadi pada kelompok tersebut.
1. Synchronous Learning
Pada pembelajaran synchronous kondisinya mirip dengan pembelajaran
konvensional hanya saja pada e-learning hal ini tidak ditandai dengan kehadiran
secara fisik. Pada bentuk synchronous ini pendidik (instruktur), peserta didik dan
rekan-rekannya melakukan “pertemuan” secara online di internet. Melakukan
proses belajar mengajar seolah sedang berada pada ruang fisik yang sama.
2. Self-directed Learning
Pada kategori ini peserta didik melakukan pembelajaran secara mandiri dengan
mengakses berbagai referensi dan bahan belajar yang disediakan. Tidak ada
instruktur ataupun waktu khusus untuk berdiskusi dengan sesama peserta didik.
Masing-masing peserta didik melakukan proses belajar sesuai dengan
kebutuhannya.
3. Asynchronous (Collaborative) Learning
Kategori ini mengkombinasikan karakteristik dari kedua kategori sebelumnya.
Peserta didik belajar secara mandiri namun tetap berkomunikasi dengan peserta
didik lainnya maupun dengan pendidik walaupun tidak harus di waktu khusus.
Penggunaan email, instant message (Yahoo! Messenger, Gtalk) ataupun board
pada forum dapat digunakan sebagai media komunikasi dan interaksi baik dengan
pendidik maupun sesama peserta didik.
Tidak ada bentuk yang sempurna karena ketiganya cocok untuk berbagai situasi yang
berbeda.
B. IBM 4-Tier Learning Model
IBM 4-Tier Learning Model adalah sebuah framework untuk penerapan e-learning
di dalam sebuah organisasi. IBM sebagai salah satu perusahaan terbesar dan tertua
pada bidang teknologi informasi menerapkan framework ini pada sistem pelatihan staf
di internal perusahaan. Pada dasarnya IBM 4-Tier Model adalah kategorisasi cara belajar
yang terdiri dari 4 tingkatan, yaitu:
1. Learn from information
Pada tier ini seorang peserta didik belajar secara mandiri (self-directed)
menggunakan berbagai bahan belajar yang sesuai untuk kebutuhannya. Tier ini
sesuai untuk proses belajar mengajar yang peserta didiknya mampu melakukan
konstruksi sendiri atas pengetahuan yang dipelajarinya tanpa bantuan dari
sesama peserta didik maupun instruktur.
2. Learn from interaction
Pada tier ini peserta didik belajar secara mandiri dari berbagai bahan belajar yang
sesuai dengan kebutuhannya. Berbeda dengan tier sebelumnya, pada tier ini
peserta didik juga berinteraksi secara aktif dengan bahan belajar tersebut. Tier ini
lebih banyak diterapkan pada proses pembelajaran yang bersifat simulatif di mana
peserta didik dituntut untuk selalu “berkomunikasi” dengan bahan belajar.
3. Learn from Collaboration
Pada tier ini peserta didik menggunakan e-learning secara bersama dan terhubung
secara online dengan peserta didik lainnya serta instruktur via jaringan atau
internet. Berbagai media yang bisa digunakan semacam chat room, email dan 8
instant message digunakan sebagai alat berkomunikasi. Para peserta didik dapat
“bertemu” pada waktu yang sama (synchronous) atau meninggalkan pesan dan
topik pembicaraan pada berbagai forum diskusi online dan mendapatkan respon
dari peserta didik yang lain atau instruktur beberapa saat kemudian.
4. Learn from Colocation
Tier ini sama dengan pembelajaran konvensional di mana peserta didik bertemu
satu dengan lainnya pada waktu dan ruang kelas yang sama. Para pendesain IBM
4 Tier Model meyakini bahwa tier khusus untuk pembelajaran konvensional harus
tetap ada. Hal ini didasari opini bahwa teknologi tidak akan pernah mengubah
beberapa aspek pokok dari proses pembelajaran semacam pengalaman berdiskusi
dengan sesama peserta didik dan pendidik, komunikasi non-verbal, dan adaptasi
yang lebih mudah dengan pembelajaran konvensional.
Beberapa situasi proses belajar mungkin bisa dilakukan oleh diri sendiri.
Sebaliknya proses belajar yang lain membutuhkan kerjasama antar peserta didik
terutama dalam berdiskusi mencari solusi dari suatu permasalahan. Karakteristik lain
adalah kadangkala diperlukan kombinasi antar e-learning dengan berbagai bentuk
pembelajaran konvensional, hal inilah yang dikenal sebagai blended learning (Wahono,
2007).
III. Membangun e-Learning
Menurut Henderson ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk
membangun sebuah sistem e-learning:
1. Menentukan Tujuan dari Sistem e-learning
Pada tahap ini pengembang sistem harus menentukan apa yang ingin dicapai
dengan adanya e-learning tersebut. Tahap ini biasanya dengan mudah dilupakan
akibat antusiasme berlebihan dari pengembang sistem e-learning. Pada akhirnya
e-learning tersebut tidak akan sesuai dengan kebutuhan calon pengguna dan tidak
memberikan hasil yang diharapkan.
2. Memulai Sistem dalam Skala Kecil
Beberapa pengembang memilih untuk memulai sistem e-elarning langsung pada
skala besar. Hal ini kurang baik ditinjau dari segi manajemen resiko karena
proyek dalam skala besar juga memiliki resiko kegagalan yang besar pula.
Sebaiknya e-learning dimulai terlebih dahulu pada sebuah unit yang kecil dan
dievaluasi sepenuhnya terlebih dahulu untuk menjadi model bagi sistem dalam
skala yang lebih besar.
3. Mengkomunikasikan dengan Peserta Didik
Menerapkan sebuah sistem baru akan memberikan tingkat keberhasilan lebih
baik apabila sasaran dari sistem tersebut memahami dengan baik sistem tersebut.
Demikian pula dengan e-learning, apabila peserta didik memahami tentang sistem
yang dibangun dan dikembangkan maka mereka dapat turut memberikan bantuan
untuk mencapai tujuan e-learning tersebut. Didasari alasan tersebut maka
pengembang sistem e-learning seharusnya selalu mengkomunikasikan sistem yang
sedang coba dibangun kepada peserta didik.
4. Melakukan Evaluasi secara Kontinyu
Evaluasi terhadap sistem dan segenap aspeknya perlu dilakukan secara terus
menerus untuk menjamin keberhasilan penerapan e-learning. Membandingkan 10
hasil belajar peserta didik dengan pembelajaran secara konvensional dapat
memberikan justifikasi apakah sistem e-learning yang dikembangkan memenuhi
standar keberhasilan proses pembelajaran atau tidak.
5. Mengembangkan sistem dalam skala lebih besar
Setelah sistem mencapai keberhasilan dalam skala kecil maka selanjutnya adalah
mengembangkan sistem dalam skala lebih besar. Menambah jumlah peserta didik,
mata pelajaran, model evaluasi dan berbagai aspek pembelajaran lainnya dapat
dilakukan dengan mengacu model dari skala yang lebih kecil yang telah
dikembangkan sebelumnya.
REFERENSI
Ali, Muhammad (2004),”E-Learning in Indonesia Education System”, 7th Programming
Cycle of APEID Activities, Kyoto, Japan
Henderson, Allan J. (2003), ”The E-Learning Question and Answer Book”, American
Management Association, New York, USA
Adri, Muhammad (2008), ”Pengembangan Model Belajar Jarak Jauh FT UNP dengan
P4TK Medan dalam Rangka Perluasan Kesempatan Belajar”, Portal
www.ilmukomputer.com, Indonesia
Nugraha, Warto (2007), ”E-Learning vs I-Learning, Penyempitan Makna E-Learning
dan Penggunaan Istilah Internet-Learning”, Portal www.ilmukomputer.com,
Indonesia
Wahono, Romi Satria (2005),”Pengantar e-Learning dan Pengembangannya”, Portal
www.ilmukomputer.com, Indonesia
Profil Penulis
Putu Ashintya Widhiartha lahir pada bulan Juli tahun 1977, meraih gelar sarjana
Komputer dari Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh November (ITS)
Surabaya tahun 2000. Gelar Master of Engineering bidang Computer Science diraih
dari Ritsumeikan University Jepang tahun 2006 dengan beasiswa JICA JDS. Profesi
utama sejak tahun 2001 hingga saat ini adalah pegawai negeri sipil (PNS) dengan
jabatan fungsional sebagai pamong belajar pada kelompok studi teknologi informasi di
Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (BPPNFI) Regional IV
Surabaya. Selain itu juga merangkap sebagai dosen luar biasa pada jurusan Teknik
Informatika Universitas Widya Kartika Surabaya dan Teknik Komputer Politeknik
NSC Surabaya. Minat penelitian adalah software engineering, ICT for Education dan
digital environment.
Add caption |
No comments:
Post a Comment