Saturday 20 July 2013

Memahami Lebih Lanjut tentang e-Learning


Memahami Lebih Lanjut tentang e-Learning



         Sudah banyak referensi baik di internet maupun dalam bentuk cetak yang membahas tentang
e-learning dan berbagai aspek yang menyertainya. Tulisan berikut ini dimaksudkan untuk lebih
memperkaya dan memperdalam kajian pustaka dalam bahasa Indonesia tentang e-learning.
Pada kesempatan ini penulis mencoba memberikan pengenalan tentang e-learning dan tipe
kategorisasi yang dapat digunakan sebagai acuan untuk mengelompokkan dan menganalisis 
berbagai tipe e-learning beserta langkah-langkah pengembangannya.

I. Introduksi
          Salah satu masalah utama pada sistem pendidikan di Indonesia adalah masalah 
kualitas. Masalah ini berhubungan dengan penyediaan materi dan bahan belajar yang
dapat diakses secara luas tanpa dibatasi oleh kendala jarak dan waktu. Apabila 
kendala ini dapat diatasi maka misi untuk menerapkan pendidikan sepanjang hayat 
pada segenap lapisan masyarakat dapat diwujudkan. Dalam mewujudkan hal ini 
dibutuhkan perubahan pada paradigma proses belajar mengajar yang telah diterapkan
selama ini (Ali, 2004).
Pada paradigma tradisional proses belajar mengajar pada umumnya berlangsung
di ruang kelas dan ditandai dengan kehadiran pendidik di muka kelas. Pendidik
memiliki tanggungjawab penuh terhadap jalannya proses belajar mengajar dan bisa
dianggap sebagai sumberdaya paling penting dari sebuah proses belajar mengajar.

            Seluruh dokumen di IlmuKomputer.Com dapat digunakan, dimodifikasi dan 
disebarkan secara bebas untuk tujuan bukan komersial (nonprofit), dengan 
syarat tidak menghapus atau merubah atribut penulis dan pernyataan 
copyright yang disertakan dalam setiap dokumen. Tidak diperbolehkan 
melakukan penulisan ulang, kecuali mendapatkan ijin terlebih dahulu dari 

          Sebaliknya pada paradigma baru, peserta didik harus difasilitasi sesuai kebutuhannya
masing-masing. Setiap peserta didik adalah spesifik dan memiliki kebutuhan belajar 
yang berbeda-besa. Proses belajar mengajar harus berfokus pada aktifitas ”belajar” dan 
bukan pada aktifitas ”mengajar” seperti pada paradigma lama. Dengan paradigma
seperti ini maka keberadaan pendidik tidak lagi menjadi satu-satunya faktor penting
dalam proses pembelajaran. Keberadaan pendidik bisa digantikan oleh bahan belajar
berupa modul, diktat, perangkat lunak edukasi yang bisa digunakan untuk belajar
secara mandiri oleh peserta didik.
           Paradigma baru yang menjadikan peserta didik sebagai active learner tersebut 
saat ini mendapatkan sarana yang sesuai untuk diimplementasikan pada sistem 
pendidikan di Indonesia dengan keberadaan Teknologi Informasi dan Komunikasi 
(TIK). TIK mampu berperan dalam menghasilkan berbagai produk bahan belajar yang 
jauh lebih menarik untuk dipelajari, memiliki unsur interaktif yang tinggi, dan mudah 
dipahami oleh peserta didik. Segala kelebihan tersebut dapat mempercepat proses
belajar mereka. Lebih dari itu TIK juga mampu mengantarkan berbagai bahan belajar 
tersebut ke hadapan peserta didik tanpa batasan jarak dan waktu dengan adanya
internet sebagai medianya.
          Dengan adanya TIK maka telah muncul berbagai model pembelajaran baru dalam 
dua dekade terakhir. Contoh model tersebut antara lain:

1. Computer Based Learning/Training (CBL/ CBT)
Model CBL/CBT berkembang sekitar pertengahan tahun 1990-an. Saat itu 
berbagai pelatihan atau kelas menyediakan berbagai bahan belajar berupa modul 
elektronik baik berupa perangkat lunak edukasi maupun softcopy dari berbagai 
modul cetak yang sudah ada sebelumnya. Bentuk ini di kemudian hari dikenal 
sebagai e-book dan berkembang semakin pesat berkat adanya format file pdf dari 
Adobe.
Pada era tersebut CBL/CBT sendiri berkembang pada komputer stand-alone dan 
belum terhubung dengan internet. Biasanya pembelajaran dengan model
CBL/CBT adalah untuk penyiapan tenaga ahli pada suatu bidang yang 
memerlukan pelatihan terlebih dahulu sebelum menempati posisinya. Perangkat 
lunak simulasi membantu peserta didik melakukan simulasi atas pekerjaan yang 
hendak dilakukan. Dengan simulasi maka proses belajar menjadi lebih mudah dan 
biaya pun bisa ditekan lebih murah dibandingkan apabila mereka harus 
mempraktekkan sendiri pada peralatan yang sebenarnya. Modul elektronik 
mempermudah peserta untuk mempelajari secara mandiri materi yang harus 
dipelajari dan tidak memerlukan biaya cetak yang tinggi.

2. Web-based Learning
Dengan semakin luasnya perkembangan internet maka perkembangan 
selanjutnya adalah terjadinya perluasan akses terhadap bahan-bahan belajar 
CBL/CBT di atas. Berbagai perangkat lunak edukasi ataupun softcopy dari modul, 
diktat, dan berbagai buku elektronik (e-book) lainnya yang semula didistribusikan 
dalam bentuk disket atau CD mulai membanjiri internet. Dengan melakukan 
upload berbagai referensi dan bahan belajar di internet berarti membuka akses 
dari seluruh penjuru dunia terhadap berbagai bahan belajar tersebut. Para 
pengguna internet pun bisa mempelajari apa saja dari berbagai situs web yang
tersedia.
Demikian pula para penyelenggara pendidikan mulai memanfaatkan internet 
untuk memperluas layanan mereka pada siapapun yang ingin menjadi peserta 
didiknya. Berbagai kelas dan pelatihan bisa diikuti hanya dengan melakukan 
berbagai download terhadap bahan belajar elektronik, berdiskusi dengan dosen 
melalui email atau forum-forum diskusi online, dan mengikuti ujian secara online
di internet. Setelah lulus sang peserta didik tinggal menunggu ijazah atau 
sertifikat yang terkirim ke alamatnya. Model inilah yang dikenal sebagai 
Web-based learning, sebuah model pembelajaran jarak jauh (distance learning) 
yang menggunakan internet sebagai sarananya.

3. Mobile Learning
TIK tidak hanya terbatas pada penggunaan komputer saja. Berbagai model 
pembelajaran yang menggunakan peralatan TIK lainnya seperti misalnya telepon 
genggam pun saat ini telah mulai berkembang. Dengan berbagai fitur dan 
teknologi yang dimiliki telepon genggam saat ini telah melahirkan sebuah model 
pembelajaran baru yang dikenal sebagai mobile learning (m-learning). Aktifitas 
utama pada M-learning adalah mendistribusikan bahan belajar kepada peserta 
didik agar dapat diakses menggunakan perangkat komunikasi portabel semacam 
          telepon genggam atau PDA.
Berbagai bentuk model pembelajaran dengan berbasiskan TIK seperti tersebut di 
atas itulah yang dikatergorikan sebagai bagian dari pembelajaran secara elektronik 
atau lebih dikenal sebagai e-learning. Tidak mudah untuk mendefinisikan e-learning 
karena begitu banyaknya pendapat yang beredar, beberapa di antaranya antara lain
adalah:
Allan J. Henderson (2003)
 e-learning is learning at a distance that uses computer technology (usually the 
    Internet).

 e-learning enables employees to learn at their work computers without traveling to 
    a classroom.

 e-learning can be a scheduled session with an instructor and other students, or it 
    can be an on-demand course that the employee can take for self-directed learning at 
     a time when it’s convenient.
Badrul Khan (2005) termuat pada Adri (2008)
 e-learning can be viewed as an innovative approach for delivering welldesign,
    learner-centered, interactive, and facilitated learning environment to anyone, 
    anyplace, anytime by utilizing the attributes and resources of various digital 
    technologies along with other form of learning materials suited for open, flexible 
    and ditributed learning environtment.
Darin E. Hartley (2001) termuat pada Wahono (2003)
 e-learning merupakan suatu jenis belajar mengajar yang memungkinkan 
    tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan menggunakan media internet, 
    intranet atau media jaringan komputer lain.

           Sering terdapat perdebatan apakah penggunaan istilah e-learning untuk 
pembelajaran yang menggunakan TIK justru mengingkari penggunaan huruf e di
depan kata learning tersebut yang berasal dari kata “electronic”. Hal ini mengingat 
banyak perangkat elektronik lain yang secara kelompok bukan merupakan sarana TIK 
semacam televisi, radio, dan VCD/DVD juga banyak digunakan sebagai sarana 
pembelajaran. Dalam opini penulis tanpa menafikan media elektronik lainnya
semacam televisi dan radio, terminologi e-learning bisa dikatakan telah identik dengan 
TIK. Sementara pembelajaran dengan menggunakan media semacam video dan televisi
lebih sesuai mengacu pada istilah multimedia learning. Perdebatan lainnya adalah
apakah yang disebut sebagai e-learning harus selalu mengacu pada pembelajaran 
dengan internet (Nugraha, 2007).

II. Kategori e-Learning
Seperti halnya definisi, pengkategorian e-learning pun tidak bisa dilakukan 
dengan mudah mengingat banyaknya pendapat akan aspek yang mendasari
kategorisasi e-learning. Pada tulisan ini ada dua kategorisasi yang digunakan, yaitu
tipe e-learning berdasarkan interaksi dengan sistem dan kategorisasi dengan
framework 4-tier Model dari IBM.

A. Interaksi antara Sistem dan Manusia
Ditinjau dari segi interaksi antara sistem dengan manusia maka ada tiga kategori 
dasar dari e-learning, yaitu:
 Synchronous Learning
 Self-directed Learning
 Asynchronous (collaborative) Learning
Masing-masing kategori tersebut pada dasarnya mengacu pada bagaimana 
perasaan seorang peserta didik pada saat melakukan proses pembelajaran dengan
sistem e-learning. Perasaan tersebut dapat berupa perasaan terisolasi, atau menjadi 
bagian dari sebuah kelompok. Apabila menjadi bagian dari sebuah kelompok 
bagaimanakah komunikasi dan interaksi yang terjadi pada kelompok tersebut.

1. Synchronous Learning
Pada pembelajaran synchronous kondisinya mirip dengan pembelajaran
konvensional hanya saja pada e-learning hal ini tidak ditandai dengan kehadiran 
secara fisik. Pada bentuk synchronous ini pendidik (instruktur), peserta didik dan 
rekan-rekannya melakukan “pertemuan” secara online di internet. Melakukan 
proses belajar mengajar seolah sedang berada pada ruang fisik yang sama.
2. Self-directed Learning
Pada kategori ini peserta didik melakukan pembelajaran secara mandiri dengan 
mengakses berbagai referensi dan bahan belajar yang disediakan. Tidak ada 
instruktur ataupun waktu khusus untuk berdiskusi dengan sesama peserta didik. 
Masing-masing peserta didik melakukan proses belajar sesuai dengan 
kebutuhannya.
3. Asynchronous (Collaborative) Learning
          Kategori ini mengkombinasikan karakteristik dari kedua kategori sebelumnya. 
Peserta didik belajar secara mandiri namun tetap berkomunikasi dengan peserta 
didik lainnya maupun dengan pendidik walaupun tidak harus di waktu khusus. 
Penggunaan email, instant message (Yahoo! Messenger, Gtalk) ataupun board 
pada forum dapat digunakan sebagai media komunikasi dan interaksi baik dengan 
pendidik maupun sesama peserta didik.
Tidak ada bentuk yang sempurna karena ketiganya cocok untuk berbagai situasi yang 
berbeda. 

B. IBM 4-Tier Learning Model
          IBM 4-Tier Learning Model adalah sebuah framework untuk penerapan e-learning
di dalam sebuah organisasi. IBM sebagai salah satu perusahaan terbesar dan tertua
pada bidang teknologi informasi menerapkan framework ini pada sistem pelatihan staf
di internal perusahaan. Pada dasarnya IBM 4-Tier Model adalah kategorisasi cara belajar
yang terdiri dari 4 tingkatan, yaitu:

1. Learn from information
        Pada tier ini seorang peserta didik belajar secara mandiri (self-directed) 
menggunakan berbagai bahan belajar yang sesuai untuk kebutuhannya. Tier ini 
sesuai untuk proses belajar mengajar yang peserta didiknya mampu melakukan 
konstruksi sendiri atas pengetahuan yang dipelajarinya tanpa bantuan dari 
sesama peserta didik maupun instruktur.

2. Learn from interaction
       Pada tier ini peserta didik belajar secara mandiri dari berbagai bahan belajar yang 
sesuai dengan kebutuhannya. Berbeda dengan tier sebelumnya, pada tier ini 
peserta didik juga berinteraksi secara aktif dengan bahan belajar tersebut. Tier ini 
lebih banyak diterapkan pada proses pembelajaran yang bersifat simulatif di mana 
peserta didik dituntut untuk selalu “berkomunikasi” dengan bahan belajar.

3. Learn from Collaboration
       Pada tier ini peserta didik menggunakan e-learning secara bersama dan terhubung 
secara online dengan peserta didik lainnya serta instruktur via jaringan atau 
internet. Berbagai media yang bisa digunakan semacam chat room, email dan 8
instant message digunakan sebagai alat berkomunikasi. Para peserta didik dapat 
“bertemu” pada waktu yang sama (synchronous) atau meninggalkan pesan dan 
topik pembicaraan pada berbagai forum diskusi online dan mendapatkan respon 
dari peserta didik yang lain atau instruktur beberapa saat kemudian.

4. Learn from Colocation
        Tier ini sama dengan pembelajaran konvensional di mana peserta didik bertemu 
satu dengan lainnya pada waktu dan ruang kelas yang sama. Para pendesain IBM 
4 Tier Model meyakini bahwa tier khusus untuk pembelajaran konvensional harus 
tetap ada. Hal ini didasari opini bahwa teknologi tidak akan pernah mengubah 
beberapa aspek pokok dari proses pembelajaran semacam pengalaman berdiskusi 
dengan sesama peserta didik dan pendidik, komunikasi non-verbal, dan adaptasi 
yang lebih mudah dengan pembelajaran konvensional.

Beberapa situasi proses belajar mungkin bisa dilakukan oleh diri sendiri. 
Sebaliknya proses belajar yang lain membutuhkan kerjasama antar peserta didik 
terutama dalam berdiskusi mencari solusi dari suatu permasalahan. Karakteristik lain 
adalah kadangkala diperlukan kombinasi antar e-learning dengan berbagai bentuk
pembelajaran konvensional, hal inilah yang dikenal sebagai blended learning (Wahono, 
2007).

III. Membangun e-Learning
        Menurut Henderson ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk 
membangun sebuah sistem e-learning:
1. Menentukan Tujuan dari Sistem e-learning
Pada tahap ini pengembang sistem harus menentukan apa yang ingin dicapai 
dengan adanya e-learning tersebut. Tahap ini biasanya dengan mudah dilupakan 
akibat antusiasme berlebihan dari pengembang sistem e-learning. Pada akhirnya 
e-learning tersebut tidak akan sesuai dengan kebutuhan calon pengguna dan tidak 
memberikan hasil yang diharapkan.

2. Memulai Sistem dalam Skala Kecil
        Beberapa pengembang memilih untuk memulai sistem e-elarning langsung pada 
skala besar. Hal ini kurang baik ditinjau dari segi manajemen resiko karena 
proyek dalam skala besar juga memiliki resiko kegagalan yang besar pula.
Sebaiknya e-learning dimulai terlebih dahulu pada sebuah unit yang kecil dan 
dievaluasi sepenuhnya terlebih dahulu untuk menjadi model bagi sistem dalam 
skala yang lebih besar.

3. Mengkomunikasikan dengan Peserta Didik
         Menerapkan sebuah sistem baru akan memberikan tingkat keberhasilan lebih 
baik apabila sasaran dari sistem tersebut memahami dengan baik sistem tersebut. 
Demikian pula dengan e-learning, apabila peserta didik memahami tentang sistem 
yang dibangun dan dikembangkan maka mereka dapat turut memberikan bantuan 
untuk mencapai tujuan e-learning tersebut. Didasari alasan tersebut maka 
pengembang sistem e-learning seharusnya selalu mengkomunikasikan sistem yang
sedang coba dibangun kepada peserta didik.

4. Melakukan Evaluasi secara Kontinyu
         Evaluasi terhadap sistem dan segenap aspeknya perlu dilakukan secara terus 
menerus untuk menjamin keberhasilan penerapan e-learning. Membandingkan 10
hasil belajar peserta didik dengan pembelajaran secara konvensional dapat 
memberikan justifikasi apakah sistem e-learning yang dikembangkan memenuhi 
standar keberhasilan proses pembelajaran atau tidak.

5. Mengembangkan sistem dalam skala lebih besar
        Setelah sistem mencapai keberhasilan dalam skala kecil maka selanjutnya adalah 
mengembangkan sistem dalam skala lebih besar. Menambah jumlah peserta didik, 
mata pelajaran, model evaluasi dan berbagai aspek pembelajaran lainnya dapat 
dilakukan dengan mengacu model dari skala yang lebih kecil yang telah 
dikembangkan sebelumnya. 

                                                REFERENSI

Ali, Muhammad (2004),”E-Learning in Indonesia Education System”, 7th Programming
                  Cycle of APEID Activities, Kyoto, Japan
Henderson, Allan J. (2003), ”The E-Learning Question and Answer Book”, American 
                 Management Association, New York, USA
Adri, Muhammad (2008), ”Pengembangan Model Belajar Jarak Jauh FT UNP dengan 
           P4TK Medan dalam Rangka Perluasan Kesempatan Belajar”, Portal 
www.ilmukomputer.com, Indonesia
Nugraha, Warto (2007), ”E-Learning vs I-Learning, Penyempitan Makna E-Learning 
         dan Penggunaan Istilah Internet-Learning”, Portal www.ilmukomputer.com, 
         Indonesia
Wahono, Romi Satria (2005),”Pengantar e-Learning dan Pengembangannya”, Portal
www.ilmukomputer.com, Indonesia

                                                          Profil Penulis

Putu Ashintya Widhiartha lahir pada bulan Juli tahun 1977, meraih gelar sarjana 
Komputer dari Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) 
Surabaya tahun 2000. Gelar Master of Engineering bidang Computer Science diraih 
dari Ritsumeikan University Jepang tahun 2006 dengan beasiswa JICA JDS. Profesi 
utama sejak tahun 2001 hingga saat ini adalah pegawai negeri sipil (PNS) dengan
jabatan fungsional sebagai pamong belajar pada kelompok studi teknologi informasi di
Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (BPPNFI) Regional IV
Surabaya. Selain itu juga merangkap sebagai dosen luar biasa pada jurusan Teknik 
Informatika Universitas Widya Kartika Surabaya dan Teknik Komputer Politeknik 
NSC Surabaya. Minat penelitian adalah software engineering, ICT for Education dan
digital environment.

Add caption

No comments:

Post a Comment